Pages

15 April 2010

PERANAN AKIDAH DALAM MEMBINA MANUSIA

1. PENDAHULUAN


Pertanyaan-pertanyaan yang selalu menghantui manusia dalam hidupnya adalah dari manakah ia berada (di dunia ini), kemanakah ia akan dikembalikan kelak dan apakah tujuan dari keberadaannya ini?

Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan manusia kepada dirinya sepanjang masa ini memerlukan jawaban yang jitu dan memuaskan, supaya ia, berdasarkan jawaban tersebut, dapat mengambil sikap yang tegas dalam kehidupannya, meluruskan perilakunya dan menegakkan undang-undang ideal yang diminati oleh masyarakatnya.

Dengan asumsi-asumsi hampa dan tidak memuaskan rasa haus manusia akan hakekat dan realitas hidup, akidah-akidah hasil rekayasa manusia (al-’aqa`id al-wadl’iyah) mengalami kegagalan fatal dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jawaban-jawaban yang dilontarkan oleh akidah-akidah tersebut dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan itu antara lain;‘manusia ditemukan dengan sendirinya’, ‘manusia ditemukan akibat perkembangan materi’ dan lain sebagainya.

Dan kegagalan akidah-akidah itu tidak sampai di sini saja. Mereka juga gagal dalam menciptakan formulasi-formulasi undang-undang kemasyarakatan yang dapat membina manusia dan merealisasikan kebahagiannya.

Di saat akidah dan kepercayaan-kepercayaan agama yang tidak orisinil itu menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan jawaban-jawaban yang palsu dan membingungkan dengan asumsinya bahwa manusia memiliki pencipta, akan tetapi pencipta yang serupa dengan makhluknya, akidah Islam telah berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan jitu dan memuaskan. Akidah Islam mengakui bahwa manusia memiliki Pencipta Yang Maha Bijaksana lagi Kuasa yang tidak dapat dicapai dengan indra dan tidak bisa disamakan dengan manusia. Akidah Islam menegaskan bahwa manusia diciptakan untuk sebuah tujuan yang tinggi, yaitu menyembah Allah yang konsekuensinya, ia akan dapat mencapai tingkat kesempurnaan dan keabadian yang tertinggi.

Di samping itu, akidah ini juga mewujudkan naluri ideal (dalam diri manusia) yang Islam menganjurkan agar naluri tersebut selalu dikembangkan demi terwujudnya manusia sempurna di bidang pemikiran, sosial dan perilaku. Begitu juga demi terwujudnya kepribadian berakidah yang berjalan sesuai dengan akal yang terarah, perilaku yang lurus dan siap mengemban missi, tidak seperti kepribadian yang mengalami kevakuman akidah, yang seluruh perhatiannya tercurahkan kepada egoisme dan kemaslahatan dirinya. Kepribadian semacam ini akan mengalami kevakuman akal, kemelut jiwa dan kehilangan tujuan dalam hidup.

Patut untuk diingat di sini bahwa akidah Islam bukan seperti akidah (yang didefinisikan oleh) para filsuf yang tidak lebih dari sekedar teori pemikiran yang tersembunyi di sudut-sudut otak manusia. Akan tetapi akidah Islam adalah sebuah power yang (bersemayam dan) bergerak di dalam hati dan berpengaruh secara positif pada jiwa dan anggota badan. Dengan ini, orang yang memiliki akidah akan terdorong untuk berkiprah di medan jihad dan amal. Atas dasar ini, akidah Islam (pada masa kejayaan Islam) telah menjadi sebuah kekuatan yang aktif dan motor penggerak (bagi muslimin) yang telah mampu mengubah perjalanan sejarah, merombak kebudayaan-kebudayaan (yang berlaku kala itu), meletuskan revolusi-revolusi agung dalam kehidupan manusia, baik di bidang tatanan hidup sosial maupun pemikiran dan menciptakan kemenangan militer. Telah kita ketahui bersama bahwa kelompok minoritas (muslim) Makkah yang tertindas telah mampu bertahan selama tiga belas tahun menghadapi kelaliman yang melanda mereka bagai topan dengan akidah tersebut.

Akidah inilah yang telah berhasil mengumpulkan tentara sebanyak sepuluh ribu orang untuk berkhidmat kepada Rasulullah saww yang sebelumnya beliau tidak memiliki kekuatan militer dan lari dari Makkah secara sembunyi-sembunyi karena diusir oleh orang-orang kafir Makkah -. Dan orang-orang yang memerangi beliau sepanjang masa itu tidak mampu bertahan menghadapi kekuatan iman yang kokoh ini. Oleh karena itu, mereka menyerah dan menyatakan keislaman mereka di hadapan beliau atau membayar jizyah.

Muslimin kala itu memiliki sarana kemenangan yang paling kuat, yaitu akidah Islam yang telah mampu menciptakan hal-hal yang tidak dipercayai oleh manusia biasa. Akidah ini telah memberanikan Hamzah untuk memimpin Sariyah pertama Islam yang hanya berkekuatan tiga puluh pasukan berkuda ketika menghadapi tiga ratus pasukan berkuda Quraisy di pinggiran Laut Merah. Sariyah Islam ini tidak keluar ke medan laga hanya demi memamerkan kekekaran tubuh. Sariyah ini memiliki semangat juang tinggi yang hanya ingin bertujuan menumpas musuh yang kekuatannya lebih besar sepuluh kali lipat dari kekuatan dirinya.

Dan belum pernah terjadi dalam sejarah pertempuran-pertempuran Islam yang selalu menghasilkan kemenangan-kemenangan gemilang itu, kekuatan muslimin secara materi setara dengan kekuatan musuh. Akan tetapi, dari sisi jumlah dan prasarana, kekuatan mereka terkadang hanya seperlima lebih kecil dari kekuatan musuh. Kemenangan yang mereka peroleh itu bersumber dari kekuatan spiritual yang terpancar dari akidah dan kekuatan-kekuatan ghaib yang turun kepada mereka secara kontinyu. Sarana dan prasarana materi hanyalah pelengkap kemenangan tersebut.

Dengan ini, akidah adalah kekuatan yang fundamental dalam setiap pertempuran (yang pernah terjadi pada masa kejayaan) Islam dan faktor utama terwujudnya kemenangan di segala bidang.

Dan supaya kita mampu mewujudkan sebuah kebangkitan peradaban di dalam diri setiap individu muslim, (salah satu cara yang efektif adalah) kita mengingatkannya akan persembahan-persembahan yang telah dianugerahkan oleh akidah Islam ini kepada masyarakat muslim masa lampau.

Betul, bahwa seorang muslim tidak akan melucuti akidahnya dari sanubarinya. Akan tetapi, dikarenakan adanya perang pemikiran yang menyerang akidah tersebut dan faktor-faktor dekadensi moral yang menyerang masyarakatnya sebagai akibat dari jauhnya mereka dari kultur dan ajaran-ajaran langit, akidah tersebut akan kehilangan fungsi, dan ia akan kehilangan rasa solidaritas sosial dalam praktek kehidupan sehari-hari.

Yang harus diperhatikan dalam hal ini adalah :

Pertama, mengenalkan setiap individu muslim dengan akidah yang benar lewat sumber-sumbernya yang bersih dan suci.

Kedua, meyakinkannya akan kebenaran akidah yang dimiliki, validitas akidah tersebut untuk dipromosikan di zaman modern ini dan keunggulannya secara mutlak atas akidah-akidah yang lain.

Ketiga, berusaha untuk memulihkan kembali peran akidah dalam membina manusia muslim supaya akidah tersebut merasuk ke dalam sanubarinya berbentuk sebuah iman yang kokoh, perilaku yang baik dan akhlak yang terpuji dalam perangainya sehari-hari, sebagaimana akidah tersebut telah mempengaruhi cara hidup muslimin terdahulu dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka.

Untuk merealisasikan tujuan ini, kami angkat pembahasan yang meliputi peranan akidah dalam membina manusia, baik secara pemikiran, tata cara kehidupan sosial dan kejiwaan, dan refleksi-refleksinya terhadap etika dan perilaku seorang muslim ini ke permukaan. Dan di dalam buku ini kami juga memaparkan peran Ahlul Bayt a.s. yang besar dalam memelihara akidah dan memerangi usaha-usaha (sebagian orang) yang ingin melupakan muslimin (terhadap arti hidup) yang sedang menimpa masyarakat muslim dalam dunia politik di masa kini.

Patut disinggung di sini, dalam pembahasan ini kami mengikuti metode naqli dan bersandarkan kepada referensi-referensi Islam.

Dari Allahlah kami memohon bantuan dan taufik.


2. PEMBINAAN PEMIKIRAN

Membebaskan Akal Manusia


Akidah Islam memandang manusia sebagai makhluk yang mulia. “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan”.[1]

Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi yang memiliki kelayakan untuk mencapai derajat yang tinggi. Allah berfirman: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di muka bumi, sedangkan kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan-Mu?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.[2]

Di samping manusia memiliki kelayakan di atas, ia juga bisa menyamai kedudukan binatang. Allah berfirman: “Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi ia cenderung kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya, ia mengulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, ia mengulurkan lidahnya (juga)”.[3]

Lebih dari itu, ia bisa sejajar dengan benda mati. Allah berfirman: “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi”.[4]

Atas dasar itu, akidah Islam memperhatikan kedua faktor kelemahan dan kekuatan yang dimiliki oleh manusia itu.

Alquran memandang manusia sebagai makhluk yang lemah, gelisah (keluh kesah), tergesa-gesa, condong melampaui batas, lalim dan bodoh.[5]

Atas dasar itu, Islam tidak memaksanya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban berat yang melampui batas kemampuannya, baik secara lahiriah mapun batiniah. Allah berfirman:

لاَيُكَـلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا


(Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya).[6]

Rasulullah saww bersabda : “Ada sembilan perkara yang dimaafkan atas umatku: kesalahan (yang tidak disengaja), kelupaan, sesuatu yang dipaksakan kepada mereka (untuk mengerjakannya), sesuatu yang mereka tidak tahu, sesuatu yang tidak mampu mereka lakukan, sesuatu yang mereka terpaksa melakukannya, hasud, kegegabahan (kurang hati-hati) dan merenungkan ciptaan semesta dengan disertai keraguan selama mereka belum mengungkapkannya dengan perkataan”.[7]

Dalam hadis yang lain beliau bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُوْنِ الْمَغْلُوْبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يَبْرَأَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ


(Tiga orang terbebaskan dari kewajiban: orang gila hingga ia sembuh, orang tidur hingga ia bangun dan anak kecil hingga ia dewasa).[8]

Dengan demikian akidah Islam menganggap bahwa faktor-faktor kelemahan yang terdapat dalam dalam diri manusia adalah satu hal yang lumrah dan muncul bersama penciptaannya sebagai manusia, bukan satu realita yang dapat membasmi kebebasan memilih dan kemampuannya untuk membentuk diri dan bergerak leluasa.

Oleh sebab itu, karena akidah Islam ingin membina manusia yang sempurna, maka ia berusaha untuk menfokuskan perhatian manusia terhadap sisi positif dari keberadaannya (dan melupakannya dari faktor kelemahan yang dimilikinya).


3. Kesalahan bukan Karakter Inheren Manusia


Dari sisi lain, akidah Islam memandang kesalahan bukan karakter inheren manusia. Kesalahan adalah sebuah realita yang berada di luar diri manusia. Oleh karena itu, ketika manusia jatuh ke dalam jurang kesalahan, ia tidak akan berubah menjadi syetan yang tidak mungkin menjadi manusia kembali. Akan tetapi, ia tetap menyandang gelar manusia, manusia yang bersalah, dan pintu taubat masih terbuka lebar baginya guna memperbaiki kesalahannya itu.

Ini adalah rahasia pandangan Islam yang agung terhadap manusia. Islam tidak menakut-takutinya dengan teori keinherenan kesalahan, sebagaimana yang diyakini oleh para pemeluk agama Kristen. Islam selalu berusaha untuk mengeluarkan manusia dari lembah kesalahan, mendorongnnya untuk selalu mengangkat nilai dirinya dan mengingatkannya akan luasnya ampunan dan rahmat Allah sehingga ia tidak putus asa darinya.

Di dalam Islam tidak terdapat “kursi pengakuan dosa”, sebagaimana yang terdapat dalam ajaran umat Kristen. Sebaliknya, ulama Islam selalu menganjurkan kepada kita untuk menutupi aib dan dosa-dosa orang lain sebisa mungkin, karena Allah SWT menyukai hal itu.

Al-Ashbagh bin Nabatah berkata: “Seseorang datang kepada Amirul Mukminin a.s. seraya berkata: `Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku telah berzina, maka sucikanlah diriku ini`. Amirul Mukminin a.s. berpaling darinya, kemudian berkata kepadanya: `Duduklah!` Setelah itu beliau menghadap kepada hadirin seraya berkata : `Ketika salah seorang dari kalian mengerjakan kejelekan ini (zina), apakah ia tidak mampu untuk merahasiakan perbuatan tersebut sebagaimana Allah telah merahasiakannya?`”[9]

Manusia adalah Makhluk Mulia


Akidah Islam memandang manusia sebagai makhluk mulia yang memiliki kedudukan penting di jagad raya ini. Hal ini dapat diketahui dari kepercayaan Allah kepadanya untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi ini. Oleh karena itu, selayaknya ia melaksanakan tugas tersebut sebaik-baiknya dan bersyukur kepada-Nya atas anugerah agung dan hidayah memeluk agama yang benar ini.

Seseorang bertanya kepada Amirul Mukminin a.s.: “Mengapa anda cinta untuk bertemu Allah?” Beliau menjawab: “Tatkala aku melihat bahwa Ia telah menganugerahkan kepadaku agama para malaikat, rasul, dan nabi-Nya, aku tahu bahwa Dzat yang telah memuliakanku dengan agama ini, tidak akan melupakanku. Oleh karena itu, aku rindu untuk menjumpai-Nya”.[10]

[9] Man La Yahduruhul Faqih 4 : 21/31, bab ma yajibu fihit ta’zir wal had, Dar Sha’b, 1401 H.

[10] Al-Khisal : 33, bab al-itsnain, Jama’ah Al-Mudarrisin, Qom.



No comments:

Post a Comment